Perasaan sejati akan selalu
menghadirkan jiwa ketulusan untuk seseorang
yang dicintai. Maka tidak
ada yang perlu dikhawatirkan, bukan? Sekalipun itu soal
jarak tak terjangkau kaki, waktu yang membatasi, dan dimensi ruang berbeda yang menyekati. Percayalah
bahwa jika takdir tangan Tuhan telah membawamu berjodoh dengannya yang jauh,
perasaan dua jiwa akan selamanya menyatu bahagia.
Senja
menyapu lembut pesona langit biru dengan warna merah kekuningan untuk menjemput
cahaya matahari malam yang perlahan merangkak naik ke permukaan langit. Dunia berubah sunyi. Malam ini didalam sudut kamar kecil aku kembali ingin mematung sendiri.
Sunyi, sepi, dan jauh. Seperti
Aku dan Kamu.
“Bagaimana kabarmu di kota
Paris Van Java sana?” lirihku terucap kata manakala
bayangannya selalu terlintas dalam pikiranku. “Pasti kamu baik-baik saja. Semoga iya” , sambungku masih dengan
nada suara yang lirih hampir tak terdengar.
Selayaknya
senja yang tanpa jemu datang untuk menjemput cahaya matahari malam dengan
keadaan baik-baik saja dan menyertai suasana langit menjadi baik-baik saja. Begitupun
dengan radarku yang berusaha menerka keadaan jiwamu disana, tanpa jemu dan
berharap kamu baik-baik saja.
Karena ketika kamu
baik-baik saja. Maka akupun baik-baik saja. Kita satu jiwa.
Namaku Fianthy, manusia perempuan yang gemar merangkai
khayalan. Aku yang kini sedang menikmati sekat-sekat jarak bersama manusia
laki-laki yang kupanggil, Wibowo. Kami telah tersekati oleh jarak berkilometer demi
untuk menyongsong masa depan
masing-masing. Saat ini aku masih menuntut ilmu dengan khidmat di kota Kraton Jawa ini, sedangkan Wibowo juga sedang berjuang bersama
mimpinya di kota Paris Van Java, kota yang ia tinggali terkenal dengan sebutan
nama itu.
Aku
meraih kalender kecil diatas meja belajarku. Aku perhatikan dengan teliti,
diam-diam sembari menghitung waktu.
“Iya benar, malam ini telah
memasuki 10 tahun aku dengan Dia berjarak jauh. Terasa lama sekali ya”, kataku sambil tersenyum menyakinkan diri sendiri. “Tapi Tuhan telah membuat sepuluh tahun ini menjadi
terasa sangat hebat”, sambungku penuh rasa syukur menyelimuti.
Selama 10 tahun ini jarak telah meyekati aku dengan
Wibowo. Sekat jarak antar kota Paris Van Java dengan kota Kraton Jawa. Ah,
rasanya ingin memindahkan keduanya dalam satu tempat yang sama. Tetapi aku harus
sadar bahwa dunia ini bukan negri dongeng. Bahkan aku pun bukan seorang ahli sihir.
Semua itu hanya khayalan kacauku saja. Khayalan kacau karena aku terus-menerus menyimpan
kerinduan tentangnya.
Ada rindu dalam sekat jarak ini.
Rindu yang kian tumbuh disarang jiwa, dan aku senang membuatnya tumbuh
Teringat
percakapan manis hari
itu menjelang kepergiannya kekota Paris Van Java.
Percakapan manis yang mengandung pesan yang manis pula. Selayaknya
senja yang selalu mengantarkan malam datang dengan jingga khasnya yang manis.
“Aku berangkat besok.
Kamu jaga diri baik-baik disini, ingat pesan aku ya”, kata Wibowo dengan lembut. Gema suaranya pun masih terdengar
nyata didekat dua telingaku hingga saat ini, seolah tanpa jarak.
Dunia seolah telah membuat waktu
berjalan dengan sangat cepat hari itu. Aku memaksa rela membiarkannya
pergi bersama mimpinya. “Kamu juga baik-baik ya.
Do’aku senantiasa menyertaimu”, balasku lirih menahan haru. Karena aku tidak
ingin lagi terlihat cengeng seperti bocah kecil dihadapannya.
Aku berikan seulas senyuman terbaikku untuk mengantar kepergiannya.
Selayaknya senja yang selalu menebar senyum dengan langit jingga nan merona ketika
merelakan sang langit biru tenggelam.
Mengulang memori itu sejenak mengubahku menjadi diam dan
berpikir keras. Bahwa ternyata sekat jarak ini sejatinya membuatku tidak perlu merisaukan
apapun. Memang, rinduku memanggilmu tanpa jemu, tetapi rinduku juga harus mengangguk
memahamimu. Aku percaya bahwa sekat jarak ini akan berakhir bila waktunya tiba,
dan aku harus menunggu tanpa boleh mengiba. Sebab bukankah bila kehendak takdir
berkata jodoh, aku dan Wibowo akan berjodoh? Dan jika tepat, maka sekat jarak ini
tidak akan lagi menghalangi rindu, karena kami telah menyatu dan akan menjadi nyata
indah bila waktunya tiba nanti, sebelum nafas ini berhenti mendahului.
“Karena sejauh apapun
jarak, apabila garis takdir Tuhan telah menghendaki berjodoh, maka berjodoh. Namun
sedekat apapun jarak, apabila garis takdir Tuhan tidak menghendaki berjodoh, maka tidak akan berjodoh.
Betapa takdir Tuhan itu telah sempurna,
maka percayalah” – (Achelia Afiyanti,
2014)
(NB : Alhamdulillah.
Persembahan buah imaji yang melahirkan sebentuk cerpen pertama saya ini. Akan
saya abadikan dalam semangat menulis guna menciptakan karya yang lebih ‘greget’
lagi dari sekedar ini )